GLOBALBUSINESS.ID, Jakarta – Semester I/2025 menempatkan bank-bank BUMN pada ujian keseimbangan antara mandat publik dan tekanan pasar.
Meski modal dan likuiditas terjaga, tantangan seperti penyempitan margin bunga, peningkatan kebutuhan pencadangan, dan kompetisi digital menekan laju pertumbuhan laba dan kredit sehingga menuntut strategi jangka menengah yang lebih pragmatis dan terukur.
Demikian gambaran umum yang muncul dari laporan keuangan dan pernyataan pimpinan bank-bank BUMN serta regulator.
BRI misalnya melaporkan laba bersih konsolidasi sekitar Rp26,53 triliun pada semester I/2025, dengan pertumbuhan kredit yang masih didorong oleh segmen UMKM dan peningkatan CASA yang menjadi fokus utama manajemen untuk menekan cost of fund.
Direktur Utama BRI, Hery Gurnady menegaskan komitmen memperkuat basis ritel dan menjaga kualitas portofolio seiring transformasi digital.
Sementara itu BNI juga menegaskan penguatan likuiditas dan kualitas aset sebagai pilar ekspansi, BNI fokus penyaluran ke sektor produktif seperti infrastruktur, hilirisasi, dan UMKM guna mendorong multiplier effect.
Bank Mandiri, sebagai pemegang aset terbesar, melaporkan profitabilitas yang tetap solid meski menghadapi tekanan NIM dan kebutuhan investasi teknologi, dan manajemen menegaskan komitmen mendukung pembangunan nasional melalui penyaluran kredit berkualitas.
BTN yang fokus pada pembiayaan perumahan mencatat kontribusi penting terhadap percepatan kepemilikan rumah rakyat dan terus menyesuaikan portofolio untuk menjaga kualitas aset, sementara BTN juga menyoroti langkah-langkah strategis seperti restrukturisasi dan potensi konsolidasi aset syariah untuk memperkuat basis bisnis.
Sementara itu Bank Syariah Indonesia (BSI) menunjukkan performa yang tumbuh di segmen syariah dengan kontribusi laba yang semakin material, menandakan bahwa solusi perbankan syariah menjadi bagian penting dari peta jalan inklusi finansial BUMN.
Di level regulator, Ketua OJK menegaskan bahwa meski pertumbuhan kredit terpantau moderat pada paruh pertama 2025.
OJK menjaga pengawasan mikroprudensial ketat untuk memastikan pencadangan dan kesehatan neraca bank tidak tergerus oleh tekanan ekspansi, serta menegaskan target kredit industri yang tetap ambisius namun realistis demi mendukung pemulihan ekonomi.
Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia menekankan peran kebijakan moneter akomodatif dan instrumen likuiditas yang dilonggarkan untuk memberi ruang bagi perbankan, termasuk bank BUMN.
BI mendorong penyaluran kredit produktif tanpa mengorbankan stabilitas makro, dan mendukung sinergi kebijakan fiskal seperti penempatan dana terarah pemerintah bila diperlukan untuk memperkuat kapasitas penyaluran.
Respon manajemen bank-bank BUMN cenderung berfokus pada tiga pilar, yaitu penguatan kualitas aset melalui pencadangan proaktif dan underwriting yang lebih ketat, percepatan digitalisasi untuk meningkatkan porsi CASA serta menekan rasio biaya terhadap pendapatan, dan realokasi penyaluran kredit terhadap sektor-sektor bernilai tambah yang menyerap tenaga kerja.
Langkah-langkah ini sudah terlihat dalam upaya pengurangan cabang non-produktif, automasi proses kredit, serta program pendampingan UMKM untuk menurunkan risiko kredit mikro.
Meski sejumlah tekanan berdampak pada laba jangka pendek, kebijakan BI dan pengawasan OJK memberi landasan yang relatif kondusif untuk mempercepat pemulihan di semester II/2025.
Namun hal tersebut dengan catatan bahwa efektivitas penempatan dana publik dan tata kelola internal bank menjadi penentu utama apakah likuiditas tambahan akan benar-benar mendorong kredit produktif atau hanya menambah aset likuid. []